TINJAUAN EKSISTENSI TIK/KKPI
Oleh : Rahmad Lahay, S.Pd
A.
Kajian Umum
Saat ini tercatat 6.325 sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013
secara serentak di wilayah NKRI mulai jenjang SD sampai jenjang SMA/SMK
(sumber:
http://kurikulum.kemdikbud.go.id/sasaran). Kepastian ini mutlak
dijalankan terhitung TP. 2013/2014, tepatnya tanggal 15 Juli 2013 dengan dasar Permendikbud
tentang kurikulum 2013, penjabaran tersebut dituang dalam pengesahan:
Betapa tidak bahwa kurikulum
2013 yang telah dijalankan dan menggantikan KTSP telah direvisi dengan alasan
telah terjadi paradigma baru tentang sistem pendidikan di Indonesia. Hemat saya
bahwa Kurikulum 2013 ini menyentuh 4 hal
saja, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan
standar penilaian. Nah, sekarang ke mana 4 standar lainnya. Bukankan dikatakan
kurikulum ini telah menyempurnakan pada kurikulum sebelumnya. Perubahan dan
implementasi setengah matang, wajar banyak yang mempertanyakan.
Alasan lain implementasi
kurikulum 2013 kembali diperkuat setelah melalui uji publik yang dilakukan secara online. Kemendikbud menyebut
pendekatan online sebagai “monolog virtual” secara
tertulis di
33 provinsi untuk tingkat daerah. Selain itu uji publik lainnya melalui
“tatap muka” di tingkat Nasional
di 5 kota besar: Jakarta, Yogyakarta, Medan, Makassar, dan Denpasar.
Uji publik sudah disosialisasikan
melalui media massa. Penulis telah mengamati dan mempelajari uji publik online,
ada beberapa kejanggalan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, “monolog virtual”
yang telah dilakukan menunjukkan kekuatan yang tidak seimbang. Kemendikbud telah
menyajikan draft dokumen dan pengunjung website dapat mempelajari draft
Kurikulum 2013 yang mencakup tingkat SD sampai PT. Kemudian menuliskannya dalam
kolom komentar. Semua komentar dengan
mudahnya bisa dilihat oleh publik dan hanya bersifat satu arah dengan kata
lainnya tidak bersifat interaktif. Kemdikbud betul-betul dan paham hanya akan menjaring
komentar yang tentunya akan menguatkan konten dalam kurikulum 2013 tersebut yang
pada akhirnya diterima oleh publik. Sekarang bagaimana pihak Kemdikbud membuat
rekapitulasi komentar tersebut yang sangat beragam. Apakah ini bisa dilakukan
oleh “mesin”? tentu pemangku kebijakan dalam hal ini kemdikbud yang akan ‘men-drive’
sepanjang tidak mengganggu kebijakan yang telah dibuatnya. Dengan arti bahwa
uji publik akan mencerminkan yang normatif saja.
Kedua, dokumen kurikulum
2013 terlalu umum dan berada pada tataran normatif. Saran atau kritik bisa saja
terjebak di permukaan saja, sehingga informasi belum menggambarkan kritikan
yang sesungguhnya yang pada akhirnya akan menggiring dengan menerima atau menolak.
Kajian rinci secara substansial dan mendalam hanya akan terjadi pada dialog
interaktif dan ini sangat terbatas sekali.
Ketiga, publik tentu
mempelajarinya dengan waktu yang cukup singkat. Sudut pandang kekurangan pun dari
kurikulum 2013 tidak ditampilkan oleh pihak kemdikbud sehingga opini yang terbangun
tidak seimbang dan mengada-ada. Bukankan ini agak prematur terhadap kebijakan
yang akan ditempuh.
Keempat, komentar tidak dikategorisasikan
ke dalam standar-standar kurikulum, buku teks, struktur/muatan kurikulum, atau hanya
dengan mengkritisi kurikulum untuk SD, SMP, SMA/SMK, atau Pendidikan Tinggi
saja. sehingga dengan demikian mudahnya dianalisis pada bagian mana yang
perlu mendapat tekanan oleh publik.
Kelima, yang cukup
fantastis dalam perubahan kurikulum ini adalah menghapus beberapa mata
pelajaran termasuk TIK/KKPI dan melahirkan mapel baru yakni Prakarya. Banyak
komentar termasuk penulis yang telah dituliskan dalam uji publik mengenai
dihapusnya mapel ini. Sekarang di mana kerja “mesin uji publik” itu, mengapa tidak
di ‘follow up’. Banyak kritikan cukup
tajam dan mempertanyakan tentang eksistensi TIK/KKPI, ataukah kritikan ini
sudah masuk dalam recycle bin kemdikbud.
Jika memperkuat dasar pemberlakuan
kurikulum 2013 dengan review uji publik sekali lagi pasti akan terbantahkan
dengan argumen di atas. Asumsinya uji publik online adalah pemborosan uang
negara dan pemborosan tenaga berfikir.
Kurikulum 2013 terlalu dini untuk
diterapkan dan terkesan dipaksakan pada tahun 2014, sekarang kemanakah standar
sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar pendidik
dan tenaga kependidikan. Bukankan ini di bahas terlebih sebelum menerapkannya.
B. Eksistensi
TIK/KKPI (Kajian Khusus)
“Integratif” dan bukan “menghapus”
ini kata kemdikbud. Memang kenyataannya dihapus mapel TIK/KKPI dalam kurikulum
2013, maka lahirlah Asosiasi Guru TIK/KKPI Nasional sebagai bentuk solidaritas guru
TIK/KKPI Nasional dan simpatisan umum yang bukan basi-basi. Gerakan ini lahir
bukan semata-mata memperjuangkan hak guru pada tunjangan profesi tetapi yang
lebih urgen adalah hak-hak belajar siswa terkait mapel TIK/KKPI yang telah
direnggut, hak-hak guru honorer yang telah beralih atau di PHK, dan hak
pemenuhan beban mengajar yang semakin tergerus. Inilah kata yang tepat disebut
sebagai diskriminatif.
Seharusnya
pemerintah meninjau dan memegang teguh seperti yang diamanatkan UUD 1945 pasal
31, yakni:
1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2)
Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur
dengan undang-undang.
Diatur kembali
oleh UU No. 20 tahun 2003 Pasal 4 ayat 1 bahwa: “Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Hak-hak belajar siswa untuk mendapatkan mapel TIK/KKPI ini mestinya
harus diakomodir oleh pemerintah, bagaimana keinginan mereka yang kuat untuk
mengembangkan dan mempelajarinya. Lihat saja video di youtube yang telah
diupload oleh teman-teman agtikknas, bagaimana testimoni dan reaksi mereka mengenai
dihapusnya mapel ini. Jika dengan alasan bahwa siswa sudah mahir internet dan
tidak perlu mapel TIK. Maka analoginya adalah dengan internet belajar
semakin mudah, pelajaran diperoleh di dunia maya, maka siswa tidak membutuhkan
sekolah, apalagi kurikulum.
Semakin kuat alasanya bahwa TIK diperlukan “It is a
technological world in which children are often more comfortable than their
parents and teachers” (Ferguson, 2005; Miller, 2005). Ini adalah dunia teknologi di mana anak-anak sering
kali lebih nyaman daripada orang
tua dan guru mereka. Ketika mereka senang dengan
dunia teknologi dan informasi, maka kreativitas ini akan muncul secara spontan.
Bukankan dalam kurikulum 2013 harus ada unsur
produktif, kreatif, inovatif dan afektif. Penelitian menunjukkan bahwa
kreativitas bisa dibangun melalui pendidikan. Penelitian ini menunjukkan 2/3
kreativitas diperoleh melalui pendidikan, sedangkan 1/3 genetik.
Bukankan Kurikulum
2013 mengisyaratkan belajar produktif, kreatif, inovatif dan efektif, maka semua
itu berada pada tataran konten mapel TIK/KKPI. Jika ada mapelnya maka
serahkanlah pada bidang kajiannya, jangan campur sari dan tergesa-gesa dengan
mengatasnamakan integratif ke dalam semua mata pelajaran, ini spekulatif dan
tidak terencana, buktinya guru-guru secara masif belum dilatih dan paham
tentang pemanfaatan teknologi informasi. Perlu dicatat bahwa TIK (Teknologi
Informasi dan Komunikasi) dan KKPI (Keterampilan Komputer dan Pengelolaan
Informasi) bukanlah sebatas alat/tools yang selama ini dikenal oleh masyarakat
luas. Pencapaian kompetensi mapel ini jauh lebih dari itu, yakni begaimana
mengelola informasi (literacy) dan
menyajikannya secara efektif, aplication
science yang melahirkan tangan-tangan kreatif, produktif karena mampu dan
terampil dalam menggunakannya. Jadi ini jangan disimpulkan sebagai user, tidak
sedikit siswa di negara kita yang mampu membuat robot, membuat antivirus, membuat
mobil ramah lingkungan, dll.
Celakanya ide
integratif dalam lingkup mata pelajaran akan mengggring pada pola pikir kita
banyak tahu dari segala yang umum, dan dari segala yang umum hanya sedikit-sedikit
yang kita ketahui. Lain halnya dengan pernyataan dengan sedikit yang kita ketahui
dari yang umum, dan dari sedikit yang kita ketahui ternyata banyak yang kita
ketahui. Ini adalah spesialis/ahli. Mengapa kita ragu dengan kemampuan siswa.
Sebaiknya konten kurikulum 2013 lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas
guru ketimbang memformat mapelnya. Bukankan ini lebih arif dan bijak karena
memang sasarannya adalah siswa dan bukan paradigma zamannya.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas pada pasal 1 yang menyatakan bahwa: Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pendidikan Nasional harus tanggap
terhadap perubahan perkembangan zaman. Kita sepakat bahwa kurikulum 2013 melahirkan siswa-siswa
yang terampil dan mampu dalam mengaplikasikan TI. Tetapi kita juga perlu sadari
bahwa belum semua siswa mahir dalam menggunakan dan mengelola informasi secara
bijak dan benar, maka hal-hal yang dapat mengakomodir ini tidak lain adalah
Keterampilan Teknologi Informasi yang dituang dalam mapel dan bukan menyurutkannya.
Tinjau UU No. 20 tahun 2003 Pasal 37 ayat 1 Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat:
a) pendidikan agama; b) Pkn; c) bahasa; d) matematika; e IPA; f) IPS; g) seni & budaya; h) pendidikan jasmani
dan olahraga; i) keterampilan/kejuruan; dan j) mulok.
Etika
penggunaan TIK penting diajarkan kepada siswa sebagaimana dalam Undang-undang
HAKI dan ITE agar tidak membabi buta, bisa jadi ini tidak diperoleh pada mapel
lain dan kembali lagi tidak bisa dicapai dengan integrasi ke dalam semua mapel.
Nah bagaimana siswa dengan leluasanya mengakses berbagai informasi yang belum
tepat, penyalahgunaan informasi, dll. Informasi di dunia maya cukup ’liar’
ibarat sisi mata pisau, maka penting ini diarahkan oleh guru yang bertanggung
jawab dalam bidangnya. Kini yang terpenting adalah bagaimana mengembalikan dan
menguatkan mapel TIK/KKPI dan memperbaharui kompetensi pembelajaran TIK yang
senantiasa berkembang ke dalam kurikulum 2013. Bukankah petisi online hampir
3000 yang menanda tanganinya sudah cukup menggambarkan bukti nyata bahwa hak
untuk mendapatkan pelajaran TIK/KKPI perlu ditinjau kembali.