Copy link dibawah ini, kemudian di isi

https://docs.google.com/forms/d/1p8QjAelBph_CBtNMlOPWVkcYhLFV4y_7CIatZh1RpHw/viewform

Kamis, 26 Agustus 2010

Kesenjangan Pendidikan RSBI


RSBI/ SBI dinilai hanya disiapkan untuk mereka yang mapan baik dari segi finansial maupun pengetahuan. Sedangkan mereka yang tidak mampu finansialnya mecari sekolah lain yang lebih terjangkau.
Perubahan status dari SSN menjadi RSBI/SBI harus di dasarkan pada studi yang cermat tidak langsung ikut perintah UU. Sebagian ada yang memplesetkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Rintisan Sekolah Bertarif internasional karena biayanya yang mahal, atau Rintisan Sekolah Berbahasa Indonesia, kelas bilingual karena gurunya mungkin hanya bisa dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, jadilah sekolah itu membuka kelas bilingual, kelas yang berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia.

Kebijakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) justru menciptakan kesenjangan mutu dan layanan pendidikan. Padahal, pemerintah semestinya memperjuangkan kesetaraan mutu dan layanan pendidikan bagi semua anak bangsa. "Dalam UUD 1945 jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak warga negara. Karena itu, mutu pendidikan yang baik bukan hanya untuk sekelompok orang, tetapi untuk semua anak bangsa". Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional.

Ide adanya sekolah RSBI sebetulnya bagus tetapi yang disayangkan hal ini justru akan melupakan potensi daerah/ lokal yang sebenarnya jauh lebih unggul dari kata internasional itu sendiri. Seolah-olah hal-hal yang berbau tradisional itu kuno dan ketinggalan zaman. Padahal, orang luar selain Indonesia sendiri senang sekali menikmati ketradisionalan bangsa kita yang beraneka ragam. Sampai-sampai banyak orang asing yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari keragaman budaya di negeri kita ini. RSBI, kita terkadang lupa membuka kelas-kelas internasional dan meninggalkan budaya lokal. Seolah-olah kalau kita sudah bisa bahasa asing (baca Inggris) kita sudah hebat dan dekat dengan masyarakat Internasional. Padahal, kalau mau jujur bahasa itu adalah sebagai alat komunikasi, jadi adalah salah bila RSBI hanya mengedepankan Bahasa, sementara hal lainnya yang lebih penting terabaikan.

Terdapat indikasi sebuah paksaan bahwa setiap propinsi di setiap kabupaten untuk memiliki SBI, nah jika ada pihak yang berkepentingan untuk manfaatkan peluang itu, tentu ada yang memaksakan sekolah tertentu untuk berubah, tentu harapannya 2 kualitas dan nilai nominal kucuran dana yang akan masuk ke sekolah serta kepentingan lainnya yang irasional?

Kegalauan sistem pendidikan di Indonesia sepertinya tidak ada habisnya. Betulkah hal ini justru sementara mencari format yang pas dan baku untuk pendidikan Indonesia. Buktinya  kurikulum kita senantiasa diperbarui dengan melihat kurikulum negara lain. tidak ada yang keliru tetapi sangat penting mengedepankan aspek kebhinekaan yang sedemikian majemuk. Perlu diingatkan kembali bahwa negara kita merupakan negara kepulauan/ maritim. Nah jika mengambil contoh bagi negara yang bukan kepulauan bukankah hal ini justru akan membuat gejolak di tengah-tengah masyarakat.

Perkembangan SBI dan SSN harus berjalan alami, bukannya dipaksakan. Sebab berkembang menjadi RSBI bukanlah hal yang mudah bagi sekolah. Apalagi bila sekolah itu ternyata tidak siap untuk membuka RSBI atau SSN. Jangan sampai mutu sekolah RSBI lebih rendah dari sekolah SSN apalagi sekolah yang belum memiliki label apapun.

Struktur menciptakan kultur. RSBI dibuat secara sistemik yang memunculkan efek yang sistemik pula. Pengaruhnya pada kultur. Bukan cuma kultur pendidikan, tapi juga pola pikir. Perbedaan biaya dan fasilitas, membentuk imej, kemudian memunculkan cara pandang. Karena itu, efek dominonya pada sikap dan perilaku sbg ikutannya, misalnya orang tua yang berupaya (bahkan berani membayar) agar anaknya masuk SBI. Internasionalisasi itu tak jadi soal. Boleh dibilang bagus. Tapi kita perlu membedakannya dengan Inggrisisasi. Dulu banyak orang yang menentang westernisasi, tapi dalam bungkus yang menarik, khawatirnya orang jadi tidak sadar dengan adanya Inggrisisasi. Nah, persoalan inilah yang boleh jadi membuat kita selalu dibuatkan struktur untuk memunculkan kultur, bukan sebaliknya. Sehingga bisa jadi suatu saat ketika anak cucu ditanya, “Apa itu Indonesia?”, mereka jadi kebingungan. Kultur sendiri, sedikit demi sedikit, secara tidak sadar telah digantikan.

Dampak RSBI memunculkan kecemburuan sosial sehingga akan merubah pranata. Misalnya mungkin kita akan merasa sedih manakala mendengar berita bahwa lembaga pendidikan di luar negeri sudah sedemikian maju, dan sebaliknya Indonesia disebut  sudah mulai kalah. Selain itu, orang-orang yang merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan juga merasa gelisah manakala menyaksikan bahwa sudah mulai banyak orang-orang kaya berbondong-bondong menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Atas dasar pandangan dan perasaan seperti itulah kiranya kemudian RSBI muncul dan berkembang selama ini hingga berjumlah sedemikian banyak. Akan tetapi niat  mulia dan tulus seperti itu,  dalam perjalanan selanjutnya, tidak mustahil  terjadi distorsi,  dan atau dipandang  terdapat sesuatu yang  menyimpang dari aspirasi masyarakat. Misalnya, RSBI menjadi mahal sehingga tidak semua orang bisa menikmati dan kemudian melahirkan diskriminasi. Sementara orang lain mungkin juga  melihat bahwa,  semestinya masyarakat tidak terbebani biaya  lagi setelah mendengar bahwa  pemerintah sudah menganggarkan 20%, untuk pendidikan dari APBN.

Kiranya siapapun warga negara ini akan bercita-cita, agar Indonesia mampu membuat dan mengimplementasikan konsep pendidikan unggul, bermutu dan berkualiatas. Dengan prestasi yang menggembirakan, tidak saja orang kaya  berhenti menyekolahkan anaknya ke luar negeri, tetapi bahkan  berbalik,  banyak orang luar negeri mengirim anak-anaknya  ke Indonesia untuk sekolah. Indonesia tidak lagi dianggap oleh siapapun  gagal membangun sekolah berkualitas, tetapi justru sebaliknya.  Banyak orang dari luar negeri datang ke Indonesia belajar membuat sekolah unggul dan bahkan mereka dalam jumlah banyak  datang untuk mencarikan sekolah bagi anak-anaknya.

Pada umumnya, berbagai kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional belum bisa terealisasi dan terlaksana sepenuhnya di lapangan. Indikatornya berbagai kebijakan yang telah ditetapkan dirasa belum bisa terimplementasi dengan baik. Misalnya kebijakan yang berhubungan dengan kualifikasi guru yang belum terbiasa dengan penggunaan bahasa asing, bantuan pembiayaan dari pemerintah yang tidak berjalan sesuai dengan prosedur dalam kebijakan, dan penerapan satuan kredit semester (SKS) di tingkat SMP.

Selain itu, beberapa implementasi dari kebijakan atau peraturan tentang penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional yang telah terlaksanakan di antaranya sarana dan prasarana yang telah terpenuhi, proses pembelajaran berbasis TIK, dan penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada mata pelajaran MIPA (Matematika, Biologi, Kimia dan Fisika). Jadi, pada kenyataannya masih ada beberapa kebijakan atau peraturan yang belum bisa terlaksana dengan baik. Hal tersebut tentunya tidak terlepas bari berbagai hambatan yang dihadapi oleh penyelenggara program tersebut.