RSBI/ SBI dinilai hanya disiapkan untuk mereka yang mapan baik dari segi
finansial maupun pengetahuan. Sedangkan mereka yang tidak mampu finansialnya
mecari sekolah lain yang lebih terjangkau.
Perubahan status dari SSN menjadi RSBI/SBI harus di dasarkan pada studi yang cermat tidak langsung ikut perintah UU. Sebagian ada yang memplesetkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Rintisan Sekolah Bertarif internasional karena biayanya yang mahal, atau Rintisan Sekolah Berbahasa Indonesia, kelas bilingual karena gurunya mungkin hanya bisa dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, jadilah sekolah itu membuka kelas bilingual, kelas yang berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia.
Perubahan status dari SSN menjadi RSBI/SBI harus di dasarkan pada studi yang cermat tidak langsung ikut perintah UU. Sebagian ada yang memplesetkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Rintisan Sekolah Bertarif internasional karena biayanya yang mahal, atau Rintisan Sekolah Berbahasa Indonesia, kelas bilingual karena gurunya mungkin hanya bisa dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, jadilah sekolah itu membuka kelas bilingual, kelas yang berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia.
Kebijakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) justru
menciptakan kesenjangan mutu dan layanan pendidikan. Padahal, pemerintah
semestinya memperjuangkan kesetaraan mutu dan layanan pendidikan bagi semua
anak bangsa. "Dalam UUD 1945 jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak
warga negara. Karena itu, mutu pendidikan yang baik bukan hanya untuk
sekelompok orang, tetapi untuk semua anak bangsa". Dalam Bab XIV pasal 50
ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional.
Ide adanya sekolah RSBI sebetulnya bagus tetapi yang disayangkan hal ini
justru akan melupakan potensi daerah/ lokal yang sebenarnya jauh lebih unggul
dari kata internasional itu sendiri. Seolah-olah hal-hal yang berbau
tradisional itu kuno dan ketinggalan zaman. Padahal, orang luar selain
Indonesia sendiri senang sekali menikmati ketradisionalan bangsa kita yang
beraneka ragam. Sampai-sampai banyak orang asing yang dikirim ke Indonesia
untuk mempelajari keragaman budaya di negeri kita ini. RSBI, kita terkadang
lupa membuka kelas-kelas internasional dan meninggalkan budaya lokal.
Seolah-olah kalau kita sudah bisa bahasa asing (baca Inggris) kita sudah hebat
dan dekat dengan masyarakat Internasional. Padahal, kalau mau jujur bahasa itu
adalah sebagai alat komunikasi, jadi adalah salah bila RSBI hanya mengedepankan
Bahasa, sementara hal lainnya yang lebih penting terabaikan.
Terdapat indikasi sebuah paksaan bahwa setiap propinsi di setiap
kabupaten untuk memiliki SBI, nah jika ada pihak yang berkepentingan untuk
manfaatkan peluang itu, tentu ada yang memaksakan sekolah tertentu untuk
berubah, tentu harapannya 2 kualitas dan nilai nominal kucuran dana yang akan
masuk ke sekolah serta kepentingan lainnya yang irasional?
Kegalauan sistem pendidikan di Indonesia sepertinya tidak ada habisnya.
Betulkah hal ini justru sementara mencari format yang pas dan baku untuk
pendidikan Indonesia. Buktinya kurikulum
kita senantiasa diperbarui dengan melihat kurikulum negara lain. tidak ada yang
keliru tetapi sangat penting mengedepankan aspek kebhinekaan yang sedemikian
majemuk. Perlu diingatkan kembali bahwa negara kita merupakan negara kepulauan/
maritim. Nah jika mengambil contoh bagi negara yang bukan kepulauan bukankah
hal ini justru akan membuat gejolak di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan SBI dan SSN harus berjalan alami, bukannya dipaksakan. Sebab
berkembang menjadi RSBI bukanlah hal yang mudah bagi sekolah. Apalagi bila
sekolah itu ternyata tidak siap untuk membuka RSBI atau SSN. Jangan sampai mutu
sekolah RSBI lebih rendah dari sekolah SSN apalagi sekolah yang belum memiliki
label apapun.
Struktur menciptakan kultur. RSBI dibuat secara sistemik yang memunculkan
efek yang sistemik pula. Pengaruhnya pada kultur. Bukan cuma kultur pendidikan,
tapi juga pola pikir. Perbedaan biaya dan fasilitas, membentuk imej, kemudian
memunculkan cara pandang. Karena itu, efek dominonya pada sikap dan perilaku sbg
ikutannya, misalnya orang tua yang berupaya (bahkan berani membayar) agar
anaknya masuk SBI. Internasionalisasi itu tak jadi soal. Boleh dibilang bagus.
Tapi kita perlu membedakannya dengan Inggrisisasi. Dulu banyak orang yang
menentang westernisasi, tapi dalam bungkus yang menarik, khawatirnya orang jadi
tidak sadar dengan adanya Inggrisisasi. Nah, persoalan inilah yang boleh jadi
membuat kita selalu dibuatkan struktur untuk memunculkan kultur, bukan
sebaliknya. Sehingga bisa jadi suatu saat ketika anak cucu ditanya, “Apa itu
Indonesia?”, mereka jadi kebingungan. Kultur sendiri, sedikit demi sedikit,
secara tidak sadar telah digantikan.
Dampak RSBI memunculkan kecemburuan sosial sehingga akan merubah pranata.
Misalnya mungkin kita akan merasa sedih manakala mendengar berita bahwa lembaga
pendidikan di luar negeri sudah sedemikian maju, dan sebaliknya Indonesia
disebut sudah mulai kalah. Selain itu,
orang-orang yang merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan juga merasa
gelisah manakala menyaksikan bahwa sudah mulai banyak orang-orang kaya
berbondong-bondong menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Atas dasar
pandangan dan perasaan seperti itulah kiranya kemudian RSBI muncul dan
berkembang selama ini hingga berjumlah sedemikian banyak. Akan tetapi niat mulia dan tulus seperti itu, dalam perjalanan selanjutnya, tidak
mustahil terjadi distorsi, dan atau dipandang terdapat sesuatu yang menyimpang dari aspirasi masyarakat.
Misalnya, RSBI menjadi mahal sehingga tidak semua orang bisa menikmati dan
kemudian melahirkan diskriminasi. Sementara orang lain mungkin juga melihat bahwa, semestinya masyarakat tidak terbebani
biaya lagi setelah mendengar bahwa pemerintah sudah menganggarkan 20%, untuk
pendidikan dari APBN.
Kiranya siapapun warga negara ini akan bercita-cita, agar Indonesia mampu
membuat dan mengimplementasikan konsep pendidikan unggul, bermutu dan
berkualiatas. Dengan prestasi yang menggembirakan, tidak saja orang kaya berhenti menyekolahkan anaknya ke luar
negeri, tetapi bahkan berbalik, banyak orang luar negeri mengirim
anak-anaknya ke Indonesia untuk sekolah.
Indonesia tidak lagi dianggap oleh siapapun
gagal membangun sekolah berkualitas, tetapi justru sebaliknya. Banyak orang dari luar negeri datang ke
Indonesia belajar membuat sekolah unggul dan bahkan mereka dalam jumlah
banyak datang untuk mencarikan sekolah
bagi anak-anaknya.
Pada umumnya, berbagai kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
tentang penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional belum bisa
terealisasi dan terlaksana sepenuhnya di lapangan. Indikatornya berbagai
kebijakan yang telah ditetapkan dirasa belum bisa terimplementasi dengan baik.
Misalnya kebijakan yang berhubungan dengan kualifikasi guru yang belum terbiasa
dengan penggunaan bahasa asing, bantuan pembiayaan dari pemerintah yang tidak
berjalan sesuai dengan prosedur dalam kebijakan, dan penerapan satuan kredit
semester (SKS) di tingkat SMP.